Ribuan orang petani dari seluruh Indonesia mendatangi Istana Negara, Jumat (24/9). Mereka menuntut pemerintah melakukan pembagian 9,6 juta hektar lahan pertanian.
Ribuan petani yang tergabung dalam berbagai aliansi bersama dengan mahasiswa, tumpah ruah didepan Istana negara, Jakarta, Jumat (24/9). Mereka melakukan aksi unjuk rasa dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional ke 50. Para demonstran membawa berbagai spanduk, poster dan berorasi untuk meminta pemerintah memperhatikan nasib para petani. Di antaranya datang dari Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Petani Indonesia (API), Wahana Masyarakat Tani Indonesia, Konsorsium Pembaharuan Agraria dan puluhan elemen masyarakat tani lainnya.
Para demonstran pun meminta pemerintah untuk tidak melakukan impor beras, karena dinilai sangat merugikan para petani. Indonesia dikenal sebagai negara pengimpor pangan terbesar di dunia saat ini.
Sebetulnya, permintaan kaum tani itu wajar dan rasional karena kebijakan pertanian pemerintahan SBY tidak memberikan lahan dan peluang kerja bagi mereka. Lantas, mereka harus hidup dari mana?
Sejumlah ekonom menilai di Indonesia sudah terjadi kemiskinan struktural yang meniadakan ruang bagi masyarakat miskin, terutama kaum tani dan nelayan serta buruh, untuk meningkatkan taraf hidup.
Kaum tani meminta redistribusi dengan segera 9,6 juta hektar tanah. Karena sejak 1960 atau sejak UU Pokok Agraria hingga saat ini tidak pernah terealisasikan. Demonstrasi di depan Istana Merdeka itu diawali dengan membentangkan spanduk besar berukuran 4 kali 8 meter.
Dalam demo itu mereka membawa spanduk berisi berbagai tuntutan antara lain 'Lindungi petani', 'Hentikan kriminalisasi petani' dan 'Tolak RUU yang berpotensi merugikan petani'. Para demonstran mengenakan kaos putih bertuliskan ‘50 Tahun UU PA (Pokok Agraria) Laksanakan Pembaharuan Agraria’.
Saat ini 7,3 juta hektar lahan terlantar. Sementara petani Indonesia harus bersaing dengan investor asing. Harus diakui, selama ini pembangunan di Indonesia bias ke sektor urban dan cenderung tidak dikembangkan ke sektor pertanian.
“Pemerintah harus mengedepankan pembangunan sektor pertanian untuk mendorong industri, bukan sebaliknya,” ungkap Revrisond Baswir, ekonom UGM.
Bahkan, kebijakan sektor pertanian selama ini dengan pemberian subsidi pupuk dan bibit lebih ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan. Akibatnya kesejahteraan petani tidak terangkat.
“Mestinya pemerintah membangun tata niaga hasil pertanian, sehingga petani tidak merugi.Untuk apa produksi besar, jika petani tidak menikmati hasilnya, karena tata niaganya tidak menguntungkan untuk petani,” tukas Revrisond.
Revrisond menilai konsep trickle down effect (pola menetes ke bawah) gagal. Pasalnya, konsep itu memprioritaskan pertumbuhan ekonomi, baru kemudian pemerataan. Di beberapa negara, seperti China dan India, pertumbuhan ekonominya tercatat melampaui 7%, namun ketimpangan pendapatan semakin lebar.
Untuk itu, gagasan ekonomi kerakyatan seharusnya dilaksanakan agar kehidupan kaum tani, nelayan dan rakyat bawah tertolong, bukan seperti saat ini. Karena 80% rakyat hidup di pedesan dan sektor agraris, sehingga harus fokus pada pertanian kemudian sektor perikanan dan industri kecil.
Maukah pemerintah? “Pemerintah mudah mengucapkan pro-rakyat, pro-job, pro-poor, tapi tidak mudah atau bahkan emoh melaksanakan. Buktinya, dana irigasi dan subsidi pupuk dikurangi dan kaum tani terjerembab,” tambah Rizal Ramli, mantan Kabulog dan Menko Perekonomian.
0 comments:
Posting Komentar