Selasa, 11 Agustus 2015

POSKO PEMANTAUAN DAMPAK KEKERINGAN


Letak geografis Indonesia adalah diantara dua benua, dan dua samudra serta terletak di sekitar garis khatulistiwa. Letak geregrafis tersebut merupakan faktor klimatologis penyebab banjir dan kekeringan di Indonesia. Posisi geografis ini menyebabkan Indonesia berada pada belahan bumi dengan iklim monsoon tropis yang sangat sensitif terhadap anomali iklim El-Nino Southern Oscillation (ENSO).

ENSO menyebabkan terjadinya kekeringan apabila kondisi suhu permukaan laut di Pasifik Equator bagian tengah hingga timur menghangat (El Nino). Berdasarkan analisis iklim 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa, ada kecenderungan terbentuknya pola iklim baru yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Dampak terjadinya perubahan iklim terhadap sektor pertanian adalah bergesernya awal musim kemarau yang menyebabkan berubahnya pola tanam karena adanya kekeringan.

Kita mengetahui, bahwa musim kemarau (kekeringan) di sebagian tempat mulai terjadi bulan Mei 2015. Musim kemarau saat ini terjadi lebih awal dari pada yang diperkirakan akibatnya dibeberapa tempat seperti di daerah Jawa Timur dan daerah lainnya petani gagal panen, karena kekuragan pasokan air, sebagian besar cadangan irigasi juga mengering, Selain itu juga banyak petani dan masyarakat di pedesaan kekurangan air untuk konsumsi. Sehingga mereka terpaksa mencari air di tempat yang lebih jauh.

Sebagian besar petani yang terkena dampak kekeringan adalah terutama petani yang menggantungkan pasokan air dari hujan (petani tadah hujan). Diperkirakan terdapat 3,5 juta lahan kering tadah hujan mengalami penurunan produksi seperti beras, jagung, kedele bahkan gagal penen. Mengingat kekeringan mulai Bulan mei di tahun ini adalah bertepatan pada masa tanam II, sehingga banyak sawah dan ladang mengalami Puso.

Gegagalan panen ini akan berpengaruh terhadap pemenuhan target ramalan produksi padi, jagung, kedele. Produksi padi diramalkan mencapai 75,55 juta ton gabah kering giling, dan diperkirakan surplus sebesar 4,70 juta ton. Namun, dengan datangnya musim kemarau lebih awal diperkirakan target tersebut akan sulit dicapai, karena banyaknya daerah yang mengalami Puso atau gagal panen.

Faktor penyebab kekeringan adalah: 1) adanya penyimpangan iklim; 2) adanya gangguan keseimbangan hidrologis; dan 3) kekeringan agronomis. Penyimpangan iklim, menyebabkan produksi uap air dan awan di sebagian Indonesia bervariasi dari kondisi sangat tinggi ke rendah atau sebaliknya. Ini semua menyebabkan penyimpangan iklim terhadap kondisi normalnya. Jumlah uap air dan awan yang rendah akan berpengaruh terhadap curah hujan, apabila curah hujan dan intensitas hujan rendah akan menyebabkan kekeringan.

Gangguan keseimbangan hidrologis, kekeringan juga dipengaruhi oleh adanya gangguan hidrologis seperti: 1) terjadinya degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama bagian hulu mengalami alih fungsi lahan dari bervegetasi menjadi non vegetasi yang menyebabkan terganggunya sistem peresapan air tanah;

2) kerusakan hidrologis daerah tangkapan air bagian hulu menyebabkan waduk dan saluran irigasi terisi sedimen, sehingga kapasitas tampung air menurun tajam; 3) rendahnya cadangan air waduk yang disimpan pada musim penghujan akibat pendangkalan menyebabkan cadangan air musim kemarau sangat rendah sehingga memicu terjadinya kekeringan.

Kekeringan agronomis, terjadi sebagai akibat spikulai atau kebiasaan petani yang bersepikulasi menanam padi pada musim kemarau dengan ketersediaan air yang tidak mencukupi untuk mengejar peluang harga gabah yang lebih tinggi.

Kekeringan umumnya terjadi di wilayah-wilayah sebagai berikut: 1) areal pertanian tadah hujan; 2) daerah irigasi golongan 3; 3) daerah gadu liar; dan 4) daerah endemik kekeringan. Dampak terjadinya kekeringan antara lain: 1) produksi tanaman turun/rendah/puso bahkan menyebabkan tanaman mati sehingga merugikan petani; 2) Karena produksi rendah secara riil mengalami kerugian material maupun finansial yang besar dan bila terjadi secara luas, akan mengancam ketahanan pangan nasional; 3) menyebabkan terganggunya hidrologis lingkungan yang berakibat terjadinya kekurangan air pada musim kemarau.

Pengelolaan wilayah kekeringan secara umum dibagi menjadi tiga kategori yaitu : 1) wilayah yang sawahnya mengalami kekeringan pada lokasi yang sama, daerah tersebut umumnya terjadi di bagian hilir daerah irigasi, daerah yang sumber irigasinya hanya mengandalkan debit sungai (tidak terdapat waduk) dan daerah sawah tadah hujan yang terdapat sumber air alternatif (air buangan, air tanah dangkal);

2) wilayah yang areal sawahnya mengalami kekeringan lebih besar atau sama dengan areal yang aman kekeringan, daerah tersebut bisa terjadi di bagian tengah/hilir daerah irigasi dan daerah yang sumber irigasinya hanya mengandalkan debit sungai (tidak terdapat waduk) serta tidak kesulitan mendapatkan sumber air alternatif untuk irigasi; dan 3) wilayah dimana areal sawahnya mengalami rawan kekeringan lebih kecil dari areal yang aman, daerah tersebut umumnya masih terdapat sumber air alternatif untuk irigasi walaupun jumlahnya masih kurang.

Kekeringan perlu dikelola dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: 1) terus meningkatnya luas sawah yang terkena kekeringan sehingga berdampak pada penurunan produksi sampai gagal panen; 2) terjadinya kekeringan pada tahun yang sama saat terjadi anomali iklim maupun kondisi iklim normal;

3) periode ulang anomali iklim cenderung acak sehingga sulit untuk dilakukan adaptasi; 4) kekeringan berulang pada tahun yang sama di lokasi yang sama; 5) dampak anomali iklim bervariasi antara wilayah; 6) kekeringan hanya dapat diturunkan besarannya dan tidak dapat dihilangkan. Dengan pertimbangan tersebut sehingga diperlukan pengelolaan terencana dengan semua pemangku kepentingan.

Untuk mengatasi kekeringan perlu adanya langkah dan strategis dan dukungan kebijakan pemerintah, baik dalam mengatasi masalah jangka pedek dan masalah jangka panjang. Langkah kongkrit yang dapat dilakukan oleh semua pihak terutama pemerintah antara lain: 1) gerakan masyarakat melalui penyuluhan; 2) membangun/rehabilitasi/ pemeliharaan jaringan irigasi; 3) membangun/rehabilitasi/pemeliharaan konservasi lahan dan air; 4) memberikan bantuan sarana produksi (benih dan pupuk, pompa spesifik lokasi); 5) mengembangkan budidaya hemat air dan input (menggunakan metode SRI/PTT).

Selanjutnya untuk mengatasi penyebab klimatologis perlu melakukan; 1) penyebaran informasi prakiraan iklim lebih akurat; 2) membuat kalender tanam; 3) menerapkan dan memperhatikan peta rawan kekeringan yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian melalui data interpretasi.

TUJUAN
1.    Memantau kekeringan yang berdampak pada lahan pertanian;
2.    Mendata kerusakan yang diakibatkan oleh kekeringan;
3.    Penyambung suara petani atau korban kekeringan;
4.    Mengawasi kebijakan penanggulangan kekeringan yang dilakukan pemerintah.

PELAKSANA KEGIATAN
v  Serikat Petani Indonesia (SPI)
v  Aliansi Petani Indonesia (API)
v  Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI)
v  Perhimpunan Organisasi Profesi Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Indonesia (POPMASEPI)
v  Himpunan Mahasiswa Perlindungan Tanaman Indonesia (HMPTI)


Kerangka Acuan dan Kuisioner dapat di unduh disini

Surat Seruan dari BPP dapat di unduh disini