Jumat, 01 Juli 2016

Fokus Group Discussion "Kebijakan Peternakan (Daging) Nasional : Kedaulatan Pangan Vs Impor"



Kelompok Diskusi Terarah ini dihadiri oleh Teguh Boediyana Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Yeka Hendra Fatika Tim Bincang-Bincang Agribisnis, Wahana Masyarakat Tani dan Nelayan Indonesia (WAMTI), Aliansi Petani Indonesia (API), Indonesia for Global Justice (IGJ), Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI), Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI) dan Perhimpunan Organisasi Profesi Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Indonesia (POPMASEPI). 

Berikut ringkasan jalannya diskusi tersebut.

Menjelang Ramadhan ini, daging naik. Memang diskusi ini dibuat terbatas. Ini bisa menjadi masukan dalam menyikapi maupun aksi-aksi kita sebagai organisasi tani. Sebagai pembuka awal, kita beberapa tahun yang lalu, 2009 SPI bersama IGJ dan Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI). Kita Judicial Review ke MK UU Peternakan. Permohonan dikabulkan, hasilnya kita termasuk negara yang berhasil mempertahankan peternakannya dilindungi dari penyakit mulut dan kuku. Petani peternak kita agar terlindungi. Dan merupakan jalan bagaimana untuk peternakan kita maju.

Pemerintah sudah merespon (program swasembaga sapi) namun kenapa tidak berhasil? Apa sesungguh masalahnya?

Berikut penjelasan dari teguh boediyono dari PPSKI mengenai permasalahan daging.
Masalah daging ini lagi sexy. Sampai masa media pun demikian heboh. Harga sapi tinggi, waktu Presiden perintahkan men-jungkirbalikan harga, sapi dipaksa dibawah Rp. 80 ribu/kg. Padahal di pasar sekitar Rp. 110 – 120 ribu, ini bukan tiba-tiba, diberbagai kesempatan ini bukan tanpa sebab. Tapi ini akibat kegagalan SBY melakukan pencanangan program swasembada.

Saya surati pak Anton waktu itu, ini hanya retorika politik. Road map atau blue print tidak jelas. Kemudian saya juga bilang ke pak Suswono, ini akan gagal lagi. Alhasil impor harusnya 50.000 ton pun menjadi hampir impor 250.000 ton. Kami tidak percaya data populasi. Dilaksanakan bulan Mei 2011. Populasi sapi 14,5 juta ha kerbau 1,2 juta ha.
Hukum pasar berlaku, maka-nya kuota menjadi sasaran empuk. Pemerintah masih belum mengakui. Apa yang terjadi? Sensus pertanian termasuk membeli sapi. Turun dalam waktu dua tahun karena pengurasan, harusnya populasi naik, malah turun. Tetapi pemerintah percaya diri. Tanggal 18 juli 2013 SBY marah, waktu itu sama kaya Jokowi. Gita buka impor akhirnya. Siapa yang peduli peternak rakyat? Jika harga dibanting. Ada juga Mentan, kalau ini dilakukan, Pemerintah secara resmi gagal.

Pada tahun 2013 dikeluarkan Permendag, tidak lagi mengacu, dalam perjalanan impor kita yang seharusnya ditekan malah melambung. Ganti rezim, diangkatlah Mentan Amran. Dia dulu kontraktor pertanian dan pengusaha. Kalau di Kementerian Pertanian kapal tidak berubah hanya nahkodanya saja, awaknya sama. Dia seolah-olah sudah sukses. Kemudian membatasi impor. Akibat kesalahan Pemerintah terjadi pengurasan. Pak Amran punya pegangan, sampai dia yakin. Terjadilah kegaduhan impor sapi sampai 25.000 ton. Harga melambung dianggap kartel sebagai kambing hitam. Dalam perjalanan, ketidak jelasan, saya katakan bagaimana daging tidak tinggi?.

Jokowi bilang dijungkir balikan, harga di Malaysia kata Mendag Lembong hanya Rp. 40.000 – Rp. 60.000. Waktu kapal NTT yakin harga dibawah Rp. 80.000, akhirnya gagal juga. Pemerintah menyadari, pemain baru diberikan izin impor. Sampai 26 mei sudah mencapai 112 ribu ton kata petugas bea cukai. Mendag ganti peraturan agar mempermudah impor. Pada waktu saya diskusi dengan Mendag, kalau harga dibawah Rp. 80.000 yang dijual itu daging campur dan beku. Pak Jokowi ga perlu statement. Dibawah Rp. 80.000 itu untuk daging industri.

Jokowi bersikukuh, banyak lagi jeroan, bahkan banyak pemain baru, siapa yang dibelakangnya ga tahu, itu yang memanfaatkan. Klarifikasi sama Mentan ini lebih parah dari jaman Gita Wiryawan. Saya sampaikan ke Mendag dan Mentan, dimensi ekonomi dan dimensi sosial untuk sapi lokal.

Ini gambaran-gabaran yang ada, saya belum tahu pastinya impor total. Saya katakan tidak menghendaki. Sejauh ada rantai bumi. Sebenarnya, komitment kami melindungi peternak rakyat. Dalam menterjemahkan Presiden, sangat pragmatis. Itu cerita segalanya. Yang lain bisa lihat di tv. Saya konsisten karena gagal swasembada. Lagi-lagi Jokowi bilang 10 tahun kita swasembada. Bisa jadi kira-kira sekarang 800.000 ton, kedepan 900.000 ton untuk kebutuhan prediksi saya.

Pasal 59 kita boleh impor ke 60 negara bebas PMK. UU 41/2014 masuk lagi, kita ajukan lagi ke MK, kaitannya daging India. Terakhir sidang 12 Mei. Bagi mereka karena tidak ada, maka kita akan menjadi net importir. Ini aneh kemungkinan di priuk ada semua. Sebagai indikator, salah satu izin bisa mengimpor dari Spanyol. Kapan Singapura punya sapi? Karena ada impor dari Singapura.

Informasi yang terakhir semakin kaya, bagaimana perhimpunan peternak kerbau dan sapi, yang jadi konsen kita, impor bukan hanya mengorbankan, bisa jadi penyakit mulut dan kuku. Ini respon yang gegabah, kalaupun impor tidak seperti ini. Karena ini FGD, silahkan kepada masing-masing.
"Implikasi harga Rp. 80.000 itu membuka keran impor. Kita tidak perlu impor, jika optimal mengembangkan peternakan lokal. Wamti menolak keras. Disamping banyak yang merugikan. Kontrak politik untuk menyukseskan swasembada. Terkait impor itu, ada impor daging hidup." jelas falah waamti

Saya dari API, ini pertanyaan, jika daging India bagaimana membedakannya? Soal perbedaan harga jenis daging apa yang dijual di Malaysia? Saya sempat diwawancara, saya menolak itu. Sedikit mengutip Jokowi, setiap lebaran pasti diskon. Di Indonesia pasti harga naik." ujar fery
"Saya hargai optimisme-nya Wamti, realitasnya sejak Orba kita impor. Yang jelas kalau sampai kita tidak mengimpor, kita gagal swasembada. Kalau kita berhasil, tidak akan seperti ini. Kelas atas makan stik daging kaya kita makan gethuk. Itu harus impor lagi daging-nya. Sapi kita 12,5 juta, dalam setahun dipotong Rp. 800.000 ekor. Harga sekarang akibat gagalnya Pemerintah SBY. Rp. 18 Triliun hilang begitu aja dari APBN karena program SBY. Artinya daging hanya 0,4 dari berat tubuh. Kalau kita harus motong dari populasi tidak boleh 15%. Impor kita lebih dari 50%.
Tidak ada evaluasi lembaga independen semua program-program, DPR harus Tanggung Jawab. Ini masalahnya saya rasional. Tahun sekian impor sekian. 

Menteri tidak punya malu, program gagal tidak minta maaf,saya masih mengevaluasi. Tahu instansi yang ga bener itu Deptan. Surat ga dijawab. Saya kordinasi terus, soal siapa yang mengimpor ada aturan main. Sapi NTT itu hanya kira-kira 160.000 ekor. Dari Jatim sekitar 30.000 ekor intervalnya di Jakarta saja sudah habis. Soal TW atau siapapun impor itu tidak jadi masalah. Yang diributkan kenapa bisa impor dari Singapura. Soal lebaran itu ini soal arogansi. "Jawab kang teguh

Dilanjut penyamapaian pendapat dari irfan selaku pengurus pispi. "Sebelumnya mohon maaf karena terlambat, baik mungkin saya tidak mendengar, yang pertama mungkin ini menjadi event tahunan. Memasuki lebaran bicara tentang kenaikan harga pangan. Daging ketika kemudian permintaan sangat tinggi, sementara dalam negeri tidak sampai, langkahnya impor. Kemudian kita berdebat. Dalam hal transparansi data. Lembaga-lembaga punya tugas, menjadi pertanyaan penting. Kesimpulan saya, data dimanipulasi untuk kepentingan. Kembali ke peternakan, sekarang orang bertanya, banyak perusahaan yang impor daging. Malah menjadi lahan. Apakah yang telah dilakukan Pemerintah itu tidak bisa memperoleh sepenuhnya."

"Saya kaget di rokan hulu Riau, punya sapi sampai 100 dan dilepas. Saya berpikir seandainya jadi, bisa selesai swasembada daging. Awalnya saya psimis, tapi saat ini menjadi optimis dengan melihat seperti itu. Dari paparan bapak tadi, saya menjadi psimis kembali. Bicara swasembada daging berbicara berbagai hal. Saya menangkap kesitu. Yang juga menjadi keingin tahuan saya, sebenarnya punya tidak data kebutuhan daging yang besar. Atau kebutuhan rakyat murni. Karena bagi saya ini harus jelas. Kalau kita punya data jelas, bagi saya pemerintah kebijakan yang tegas, untuk impor industri." ujar yuli dar igj

Penyampaian pendapat oleh Yeka indra fatika dari Tim BBA "Saya memberikan perspektif, pertama bang henry harus memikirkan definisi ulang peternak kita siapa. Sebab kekeliruan pemerintah itu dari sini. Ini harus dipilah-pilah. Motivasinya untuk tabungan, saya pribadi melihat ini bukan peternak tapi petani. Mereka tidak memiliki obsesi dari tabungan ternak-nya. Kalau seandainya data Pemerintah sepakat, jantungnya peternak ditopang oleh mereka maka gagal total. Oleh karena itu perlu segmentasi pasar. Kekeliruan kalau berdasar data BPS per tahun 2,56 kg perkapita pertahun daging Indonesia. 2,2 kg untuk industri. Sementara untuk konsumsi pasar hanya 0,36 kg saja. Kalau yang menyerap kita industri seharusnya intervensi Pemerintah jangan OP karena engga nyambung. Negara Republik Indonesia masa hanya mengurusi sebagian kecil saja. Terakhir bahwa yang harus diwaspadai, Pemerintah selalu bilang, bukan problem inflasi. Pemerintah jangan panik. Karena itu masalahnya. Menyikapi ini, dilihat segmentasi pasar. Masalah swasembada kompas juga sudah bahas, ada Rp. 18 Triliun."

Kalau kita membicarakan definisi peternak lihat saja UU. Kalau kita melihat di Riau, sapi-sapi di Indonesia ada di jawa Tengah, DIY dan Jatim. Orang Indonesia yang makan daging hanya 16%. 70% sapi lokal dibuat baso. Itu realita. Sekarang sudah mulai industri, sosis apalagi bertumbuhnya apartemen. Karena dia tidak bisa masak siap saji. Jadi itu tes, produk daging yang industri. Kenapa masih diributkan betul. Yang betul-betul rutin. Populasi memang di Jawa. NTT sebagian juga dikandangkan. Kita juga ingin bertahap industri, pendekatan teknologi senilai 20.000 keluar 25.000.
Akurasi data dan angka, pertanian minta untuk pemaparan, itu mark up semua. Karena tiap hektar mengandung APBN. Soal data BPS, BPS data dasar dari sensus per 0 tahun, yang lain data sektoral. Hari ini menggugah diri bahwa pengawasan ini penting, kita akan bisa menggiring tidak keluar dari koridor-koridor. Semua itu bersumber APBN. sambung pendapat oleh kan teguh

Dari pertemuan yang singkat ini bisa kita lanjutkan pada kegiatan selanjutnya. Pertama bahwasanya kegagalan kebijakan daging peternakan sekarang bermula dari Pemerintah sebelumnya. Tetapi masalahnya program tidak berhasil. Kemudian ketidak berhasilan karena data tidak jelas. Dan menjadi rumit pemerintahan baru, seolah-olah menutupi kegagalan. Dalam waktu singkat dapat mengatasi kegagalan. 2019 bisa swasembada daging sapi. Padahal kenyataannya tidak. Kita tidak tahu masalah politik atau ketidak tahuan. Dimana Presiden meminta harga daging sapi dibawah 80.000. Penyakit mulut dan kuku. Ketidak jelasan sesungguhnya membuat publik panik, yang diperlukan impor itu untuk rakyat atau industri?. Banyak yang mengkonsumsi itu rakyat impor. Sebagian besar rakyat tidak sanggup beli juga. Karenanya saat ini tidak bisa dikatakan stop impor daging sapi.(red)