Jumat, 01 Oktober 2010

Sriani, Memuliakan Buah Tropika

Di pasaran, terutama di kota-kota besar, dengan mudah kita jumpai buah-buahan impor. Buah itu antara lain apel, jeruk, durian, pisang, bahkan pepaya pun berlabel impor, yaitu california papaya atau havana/hawaii papaya

Di pasaran, terutama di kota-kota besar, dengan mudah kita jumpai buah-buahan impor. Buah itu antara lain apel, jeruk, durian, pisang, bahkan pepaya pun berlabel impor, yaitu california papaya atau havana/hawaii papaya. "Padahal, tak ada pepaya impor. Semua itu pepaya hasil pemuliaan yang dilakukan Pusat Kajian Tropika IPB," kata Sriani.

Bagi Prof Dr Ir Sriani Sujiprihati, MS, kenyataan membanjirnya buah-buahan impor itu memprihatinkan. Padahal, buah tropika atau buah lokal tak kalah mutunya. Jika impor buah itu dilakukan terus-menerus, lama-kelamaan buah lokal bisa tersingkir. Akibat lanjutannya, petani buah lokal pun makin tak berdaya.

Sriani, Kepala Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) itu, menambahkan, sejak diberlakukannya perdagangan bebas, produk impor terus membanjir. Tak cuma buah, bahan pangan seperti gandum, kedelai, bawang putih, dan bawang merah pun diimpor.

Lebih memprihatinkan lagi di dunia pertanian, benih tanaman pangan, seperti padi hibrida, jagung hibrida, dan hortikultura, di pasaran juga didominasi oleh benih hibrida impor. Di kebun plasma nutfah Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) IPB di Tajur, Bogor, Sriani menunjukkan kebun plasma nutfah yang digunakan untuk merakit varietas baru berbagai tanaman, termasuk pepaya.

Ratusan pohon pepaya di kebun itu, meski tingginya belum mencapai satu meter, sudah berbuah lebat. Dari hasil kerja keras pemuliaan yang dilakukan tim IPB itu sudah dihasilkan empat varietas unggul buah pepaya, yakni pepaya sukma, callina, carisya, dan jene.

Tiga varietas pepaya itu sudah didaftarkan di Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan benihnya bisa dibeli para petani buah. "Ini merupakan salah satu bentuk hak atas kekayaan intelektual (HKI) bidang pemuliaan tanaman," kata Sriani yang memasyarakatkan varietas unggul pepaya itu sejak 2009.

Bukan impor

Namun, ada yang membuat Sriani sedih dan jengkel. Di pasar belakangan ini banyak dijual pepaya callina, tetapi diberi label oleh pedagang sebagai california papaya, atau pepaya carisya menjadi havana atau hawaii papaya.

Mereka seakan sengaja mengubah nama varietas pepaya itu agar seolah-olah buah itu hasil impor. Padahal, pepaya callina tersebut hasil pemuliaan dari tim IPB.

"Menurut distributor dan pedagangnya, kalau tidak dilabeli pepaya impor, buah itu tak laku dijual. Saya tidak percaya. Kalau buah itu kualitasnya bagus, pasti banyak pembelinya. Pepaya hasil pemuliaan kami itu manis rasanya," katanya menggambarkan kondisi pasar di Jakarta dan sekitarnya.

Meskipun begitu, Sriani masih bersyukur karena para petani dan pedagang pepaya di Yogyakarta dan Jawa Tengah, misalnya, menjual buah yang benihnya dari IPB itu tetap sebagai pepaya carisya, sukma, dan jene.

"Mereka enggak mau menjual pepaya callina karena sudah banyak dijual di Jakarta. Mereka memilih mencoba varietas pepaya yang lain," kata Sriani.

Dia bercerita, pepaya callina awalnya berasal dari Pak Okim (kini almarhum), petani di Bogor yang mengklaim punya pohon pepaya yang benihnya dari California, AS. Namun, karena pohon itu mulai menua, buahnya semakin menurun kualitasnya.

"Buah pepaya milik Pak Okim ini lalu kami ambil untuk kemudian di-breeding atau dilakukan pemuliaan. Proses itu memerlukan waktu tujuh tahun untuk perbaikan dan perlu dana besar buat menyeleksi dan melakukan persilangan," katanya.

Setelah itu barulah dipilih yang terbaik kualitas dan produktivitasnya. Varietas pepaya hasil persilangan itu lalu diberi nama pepaya callina dari California-Indonesia.

"Jadi, pepaya itu bukan murni impor dari California. Kami bekerja keras untuk menjadikannya seperti sekarang," tuturnya.


Jadi, pepaya itu bukan murni impor dari California, kami bekerja keras untuk menjadikannya seperti sekarang.
Lingkungan

Tumbuh di lingkungan pertanian membuat Sriani jatuh cinta pada ilmu pertanian. Saat masih di bangku SMA di Ponorogo, Jawa Timur, dia menyukai pelajaran Biologi. Kakek dan neneknya adalah petani buah dan sayur yang tinggal di dataran tinggi Desa Jurug, Kecamatan Sooko, Kabupaten Ponorogo.

"Halaman rumah keluarga kami penuh dengan jeruk keprok. Kalau mau, kami tinggal memetiknya. Tanaman apa saja tumbuh subur di desa kami," kenangnya.

Ayah Sriani menjadi penilik sekolah dan ibunya seorang kepala sekolah. "Orangtua ingin saya menjadi dokter, tetapi saya lebih tertarik belajar pertanian," katanya.

Sriani konsisten dengan pilihan hatinya. Apalagi, lewat program pemuliaan tanaman yang bertujuan menghasilkan varietas unggul dan berdaya saing itu hasilnya dapat dimanfaatkan petani untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Selain itu, pemuliaan tanaman juga berperan mengurangi arus impor, baik komoditas maupun benih tanaman.

"Kebergantungan pada produk impor diharapkan dapat dihilangkan, atau setidaknya dikurangi, sehingga ketahanan dan kedaulatan pangan kita dapat diwujudkan," kata Sriani.

Sekarang ini, kebun yang menanam pepaya varietas callina, carisya, sukma, dan jene semakin luas. Di Provinsi Jawa Barat, misalnya, hampir semua daerah sudah menanam. Bahkan, di Kabupaten Subang, varietas ini juga ditanam di pekarangan rumah.

Varietas pepaya hasil pemuliaan itu juga sudah ditanam oleh para petani di DI Yogyakarta dan Jateng, seperti di daerah Cilacap, Magelang, Banjarnegara, Brebes, dan Banyumas.

Dia makin senang karena di Jatim pun varietas pepaya itu juga ditanam dan dipasarkan, antara lain di Surabaya, Malang, dan Ponorogo.

"Petani di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan pun mulai menanam pepaya hasil pemuliaan kami (PKBT IPB)," tambah Sriani.

Sumber: KCM/Elok Dyah Messwati

0 comments:

Posting Komentar