Kamis, 28 Oktober 2010

Selasa, 26 Oktober 2010

Bisnis Rumput Laut, Berpotensi Tapi Masih Menjadi Anak Tiri

Mungkin tidak banyak yang tahu, Indonesia adalah negara penghasil rumput laut nomor satu di dunia. Luas daerah pesisir pantai di tanah air merupakan lahan subur untuk perkembangan rumput laut.

Mungkin tidak banyak yang tahu, Indonesia adalah negara penghasil rumput laut nomor satu di dunia. Luas daerah pesisir pantai di tanah air merupakan lahan subur untuk perkembangan rumput laut. 

Sayangnya, rumput laut Indonesia itu lebih diminati oleh orang-orang di luar negeri ketimbang dalam negeri. Hal itu terlihat dari banyaknya varian olahan rumput laut mulai dari untuk masakan khas Jepang seperti Sushi, bahan baku kertas di Korea Selatan dan bahan baku kosmetik di sejumlah negara. 

Menurut Ketua Umum DPP Asosiasi Petani & Pengelola Rumput Laut Indonesia (Aspperli), Arman Arfah dalam kurun waktu tahun 2009, produksi rumput laut nasional mencapai jumlah 160 ribu ton, 45 persen diantaranya disuplai dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. 

"Dengan luas itu, setiap tahun, para petani rumput laut bisa memanen sebanyak 5 sampai 6 kali, dari jenis Gracilaria 80 persen pasarnya di tanah air dan jenis Eucemacottoni, 80 persen untuk pasar luar negeri," ungkap Arman yang ditemui detikFinance dalam jumpa persnya terkait rencana pelaksanaan makan rumput laut massal, pada 29-30 Oktober 2010 mendatang, di kafe Gigi, jalan Pengayoman, Makassar, selasa (26/10/2010).

Setiap 1 hektar hamparan laut pesisir yang menjadi tempat budidaya rumput laut, petaninya bisa memanen sekitar 1 ton. Hasil olahan rumput laut jenis Glacilaria ini menjadi bahan baku untuk makanan dan minuman, sementara jenis Eucemacottoni, bisa pula menjadi bahan baku kosmetik, obat-obatan dan kertas.

Arman menyebutkan, rumput laut jenis Glacilaria di bursa komoditi nasional, harganya bisa mencapai Rp 6 ribu sampai Rp 8 ribu perkilogram. Sedangkan jenis Eucemacottoni harganya rata-rata Rp 11 ribu sampai Rp 13 ribu perkilogram. 

Namun demikian, Aspperli menyayangkan komoditi ini masih jauh dari perhatian pemerintah. Sekitar 15 ribu petani rumput laut di tanah air, lanjut Arman, belum bisa sepenuhnya lepas dari jerat utang para lintah darat dan pedagang tengkulak. Sektor perbankan tanah air belum melirik potensi penghasilan petani rumput laut. Selain itu, penyuluhan tata cara mengolah rumput laut yang berkualitas tinggi juga harus diperhatikan oleh pemerintah. 

Aspperli berharap, lanjut Arman, komoditi rumput laut mampu menyokong kemandirian ekonomi bangsa, dengan membudidayakan, memproduksi dan mengelola sendiri hasil rumput laut hingga bisa dikonsumsi masyarakat Indonesia. Selain dapat menyejahterakan petani rumput laut, jika tingkat konsumsi rumput laut masyarakat sudah meningkat, lapangan kerja akan terbuka lebar di sektor industri pengolahan rumput laut. 

"Kalau pemerintah masih menganggap hanya persoalan surplus beras yang perlu diperhatikan, sementara potensi rumput laut dikesampingkan, biar Aspperli yang bertugas mengkampanyekan pada masyarakat agar gemar mengonsumsi rumput laut," pungkas Arman.

Sumber: (dtk/qom/qom)

Jumat, 15 Oktober 2010

Presiden AFITA: TI Diperlukan untuk Bangkitkan Pertanian

Metrotvnews.com, Bogor: Presiden The Asian Federation for Information Technology in Agriculture atau Federasi Teknologi Pertanian se-Asia (AFITA) Profesor Kudang Boro Seminar menyatakan teknologi informasi sangat dibutuhkan untuk membangkitkan sektor pertanian sebagai pelaku utama pembangunan di sebuah negara.

"Kebangkitan pertanian pada suatu bangsa tidak akan terwujud tanpa adanya diseminasi teknologi informasi. Diseminasi TI akan membuat pertanian menjadi lebih modern, kompetitif, efesien dan mendatangkan nilai tambah bagi petani," katanya di Bogor, Jumat (15/10).

Kudang mengemukakan, pihaknya akan melakukan berbagai upaya dan langkah untuk mendorong akselarasi diseminasi teknologi informasi dalam pembangunan sektor pertanian. "Sektor pertanian sejauh ini tertinggal dibandingkan dengan sektor-sektor lain karena faktor TI. Penggunaan TI merupakan keniscayaan, termasuk dalam pengembangan pertanian," ujarnya.

Dia menyatakan akan mendorong akselarasi diseminasi teknologi informasi dalam pengembangan sektor pertanian di negara-negara Asia. Agenda tersebut akan dijadikan sebagai program kerja prioritas AFITA dua tahun ke depan.

"Konferensi Internasional ke-7 AFITA menghasilkan kesepakatan bersama mengenai pentingnya diseminasi teknologi informasi bagi pembangunan sektor pertanian," ujarnya.

Selain itu, AFITA juga menyepakati perubahan pola pendekatan petani dalam pengembangan diseminasi sebuah teknologi atau inovasi dari pendekatan kebutuhan pasar menjadi kebutuhan konsumen.

Pendekatan tersebut dilakukan dengan cara menggugah kesadaran petani akan pentingnya sebuah teknologi informasi dalam mengembangkan usaha taninya. Dalam hal ini peran penyuluh terus didorong karena bermanfaat untuk membangkitkan kesadaran dan partisipasi petani.

Kudang mengatakan, penggunaan TI bidang pertanian merupakan kebutuhan yang bersifat mendesak. Karena itu ia mengharapkan agar pemerintah dan pemangku kepentingan pertanian nasional mengubah cara pandang tentang TI bagi pertanian.

"TI untuk pertanian jangan ditakuti dan jangan dianggap mahal, karena manfaatnya sangat besar bagi kebangkitan sektor pertanian dan petani di masa mendatang," ujarnya.

Dia yakin bila diseminasi TI sektor pertanian, baik bersifat "off farm" maupun "on farm" berjalan dengan baik, maka ke depan sektor ini akan menggeliat sebagai pelaku utama pembangunan pada sebuah negara.

Kudang menjadi orang Indonesia pertama dipercaya mengemban amanah sebagai presiden AFITA. Ia terpilih sebagai presiden AFITA 2010-2012 dalam Konferensi Internasional ke-7 AFITA yang diselenggarakan di Bogor, Jawa Barat pada 4-7 Oktober.

AFITA beranggotakan 17 negara di kawasan Asia yaitu Indonesia, Jepang, China, India, Korea, Thailand, Filipina, Malaysia, Vietnam, Timor Leste, Iran, Banglades, Mongolia, Israel, Pakistan, Laos, dan Bhutan.(Ant/BEY)

Kamis, 07 Oktober 2010

Jumat, 01 Oktober 2010

Sriani, Memuliakan Buah Tropika

Di pasaran, terutama di kota-kota besar, dengan mudah kita jumpai buah-buahan impor. Buah itu antara lain apel, jeruk, durian, pisang, bahkan pepaya pun berlabel impor, yaitu california papaya atau havana/hawaii papaya

Di pasaran, terutama di kota-kota besar, dengan mudah kita jumpai buah-buahan impor. Buah itu antara lain apel, jeruk, durian, pisang, bahkan pepaya pun berlabel impor, yaitu california papaya atau havana/hawaii papaya. "Padahal, tak ada pepaya impor. Semua itu pepaya hasil pemuliaan yang dilakukan Pusat Kajian Tropika IPB," kata Sriani.

Bagi Prof Dr Ir Sriani Sujiprihati, MS, kenyataan membanjirnya buah-buahan impor itu memprihatinkan. Padahal, buah tropika atau buah lokal tak kalah mutunya. Jika impor buah itu dilakukan terus-menerus, lama-kelamaan buah lokal bisa tersingkir. Akibat lanjutannya, petani buah lokal pun makin tak berdaya.

Sriani, Kepala Bagian Genetika dan Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) itu, menambahkan, sejak diberlakukannya perdagangan bebas, produk impor terus membanjir. Tak cuma buah, bahan pangan seperti gandum, kedelai, bawang putih, dan bawang merah pun diimpor.

Lebih memprihatinkan lagi di dunia pertanian, benih tanaman pangan, seperti padi hibrida, jagung hibrida, dan hortikultura, di pasaran juga didominasi oleh benih hibrida impor. Di kebun plasma nutfah Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) IPB di Tajur, Bogor, Sriani menunjukkan kebun plasma nutfah yang digunakan untuk merakit varietas baru berbagai tanaman, termasuk pepaya.

Ratusan pohon pepaya di kebun itu, meski tingginya belum mencapai satu meter, sudah berbuah lebat. Dari hasil kerja keras pemuliaan yang dilakukan tim IPB itu sudah dihasilkan empat varietas unggul buah pepaya, yakni pepaya sukma, callina, carisya, dan jene.

Tiga varietas pepaya itu sudah didaftarkan di Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan benihnya bisa dibeli para petani buah. "Ini merupakan salah satu bentuk hak atas kekayaan intelektual (HKI) bidang pemuliaan tanaman," kata Sriani yang memasyarakatkan varietas unggul pepaya itu sejak 2009.

Bukan impor

Namun, ada yang membuat Sriani sedih dan jengkel. Di pasar belakangan ini banyak dijual pepaya callina, tetapi diberi label oleh pedagang sebagai california papaya, atau pepaya carisya menjadi havana atau hawaii papaya.

Mereka seakan sengaja mengubah nama varietas pepaya itu agar seolah-olah buah itu hasil impor. Padahal, pepaya callina tersebut hasil pemuliaan dari tim IPB.

"Menurut distributor dan pedagangnya, kalau tidak dilabeli pepaya impor, buah itu tak laku dijual. Saya tidak percaya. Kalau buah itu kualitasnya bagus, pasti banyak pembelinya. Pepaya hasil pemuliaan kami itu manis rasanya," katanya menggambarkan kondisi pasar di Jakarta dan sekitarnya.

Meskipun begitu, Sriani masih bersyukur karena para petani dan pedagang pepaya di Yogyakarta dan Jawa Tengah, misalnya, menjual buah yang benihnya dari IPB itu tetap sebagai pepaya carisya, sukma, dan jene.

"Mereka enggak mau menjual pepaya callina karena sudah banyak dijual di Jakarta. Mereka memilih mencoba varietas pepaya yang lain," kata Sriani.

Dia bercerita, pepaya callina awalnya berasal dari Pak Okim (kini almarhum), petani di Bogor yang mengklaim punya pohon pepaya yang benihnya dari California, AS. Namun, karena pohon itu mulai menua, buahnya semakin menurun kualitasnya.

"Buah pepaya milik Pak Okim ini lalu kami ambil untuk kemudian di-breeding atau dilakukan pemuliaan. Proses itu memerlukan waktu tujuh tahun untuk perbaikan dan perlu dana besar buat menyeleksi dan melakukan persilangan," katanya.

Setelah itu barulah dipilih yang terbaik kualitas dan produktivitasnya. Varietas pepaya hasil persilangan itu lalu diberi nama pepaya callina dari California-Indonesia.

"Jadi, pepaya itu bukan murni impor dari California. Kami bekerja keras untuk menjadikannya seperti sekarang," tuturnya.


Jadi, pepaya itu bukan murni impor dari California, kami bekerja keras untuk menjadikannya seperti sekarang.
Lingkungan

Tumbuh di lingkungan pertanian membuat Sriani jatuh cinta pada ilmu pertanian. Saat masih di bangku SMA di Ponorogo, Jawa Timur, dia menyukai pelajaran Biologi. Kakek dan neneknya adalah petani buah dan sayur yang tinggal di dataran tinggi Desa Jurug, Kecamatan Sooko, Kabupaten Ponorogo.

"Halaman rumah keluarga kami penuh dengan jeruk keprok. Kalau mau, kami tinggal memetiknya. Tanaman apa saja tumbuh subur di desa kami," kenangnya.

Ayah Sriani menjadi penilik sekolah dan ibunya seorang kepala sekolah. "Orangtua ingin saya menjadi dokter, tetapi saya lebih tertarik belajar pertanian," katanya.

Sriani konsisten dengan pilihan hatinya. Apalagi, lewat program pemuliaan tanaman yang bertujuan menghasilkan varietas unggul dan berdaya saing itu hasilnya dapat dimanfaatkan petani untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Selain itu, pemuliaan tanaman juga berperan mengurangi arus impor, baik komoditas maupun benih tanaman.

"Kebergantungan pada produk impor diharapkan dapat dihilangkan, atau setidaknya dikurangi, sehingga ketahanan dan kedaulatan pangan kita dapat diwujudkan," kata Sriani.

Sekarang ini, kebun yang menanam pepaya varietas callina, carisya, sukma, dan jene semakin luas. Di Provinsi Jawa Barat, misalnya, hampir semua daerah sudah menanam. Bahkan, di Kabupaten Subang, varietas ini juga ditanam di pekarangan rumah.

Varietas pepaya hasil pemuliaan itu juga sudah ditanam oleh para petani di DI Yogyakarta dan Jateng, seperti di daerah Cilacap, Magelang, Banjarnegara, Brebes, dan Banyumas.

Dia makin senang karena di Jatim pun varietas pepaya itu juga ditanam dan dipasarkan, antara lain di Surabaya, Malang, dan Ponorogo.

"Petani di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan pun mulai menanam pepaya hasil pemuliaan kami (PKBT IPB)," tambah Sriani.

Sumber: KCM/Elok Dyah Messwati